Makalah Status Hukum Cadar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diskriminasi
jilbab menjadi salah satu catatan penting diberbagai pelosok dunia. Terlebih
lagi di barat, jilbab sudah menjadi momok yang mengerikan dan harus dihilangkan
dari kehidupan sosial, budaya maupun politik. Misalnya saja di Prancis jilbab
dilarang di sekolah umum. Jilbab juga bukan menjadi pilihan bagi gadis-gadis
muda di Amerika karena itu akan membatasi kebebasan mereka yang mulai sadar
akan lawan jenis, menyukai pakaian minim, bercelana pendek serta mempromosikan
bahwa tubuh mereka adalah nilai sejati yang dihargai oleh lawan jenisnya.[1]
Indonesia
merupakan salah satu negara muslim terbesar di dunia, namun penggunan jilbab
atau lebih utamanya cadar masih menjadi suatu kontroversi, hal tersebut karena
masyarakat cenderung melekatkan stigma negatif kepada wanita bercadar sebagai
bagian dari terorisme dan dianggap mengancam. Memakai cadar bagi sebagian
muslimah Indonesia adalah sebuah hal yang kontroversial karna di anggap tidak
pernah di syariatkan oleh Rasul, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu juga
diperhatikan, karena saat ini penggunaan jilbab modis yang telah menjadi trend
fashion telah jauh dari syariat Islam, namun dapat diterima oleh masyarakat.
Dan sekarang ini penggunaan jilbab yang
standar tidak dapat menghalangi
seorang muslimah untuk berbuat hal-hal yang tidak senonoh bahkan ditentang oleh
agama. Makalah Status Hukum Cadar
Fenomena
yang terjadi saat ini banyak perempuan yang memakai cadar dikalangan muslimah,
cadar dalam Islam adalah jilbab yang tebal dan longgar yang menutup semua aurat
termasuk wajah dan telapak tangan. Dasar dari penggunaan cadar adalah untuk
menjaga perempuan sehingga tidak menjadi fitnah dan menarik perhatian laki-laki
yang bukan mahramnya. Cadar dalam bahasa arab disebut niqab, yang berarti
pakaian wanita yang menutup wajah. Dalam kamus Lengkap Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa cadar adalah kain penutup kepala atau muka.7 Pada dasarnya
cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab. Dalam konteks ini
penggunaan cadar terdapat beberapa model seperti pakaian wanita yang menutup
seluruh wajah kecuali alis dan mata, ada juga yang lebih ekstrim seperti kain
penutup kepala atau muka namun hanya mata saja yang terlihat.[2]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Cadar
Cadar adalah kain penutup kepala atau muka. Niqab adalah
istilah syar'i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi
wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai kesatuan
dengan jilbab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI),
cadar berarti kain penutup kepala. Dengan demikian, cadar dapat difahami
sebagai pakaian perempuan yang menutupi bagian kepala dan wajah, sehingga yang
nampak hanya kedua mata saja.
Muslimah
bercadar adalah mereka yang mengenakan jilbab yang sesuai syar’i yang
dilengkapi dengan kain penutup wajah, dan hanya menampakkan kedua mata. Bagi
muslimah bercadar, menggunakan cadar merupakan suatu kewajiban. Bagi mereka
yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka berangkat dari pendapat bahwa
wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh
lain jenis yang bukan mahram. Cadar bagi muslimah bercadar merupakan upaya
untuk lebih menjaga diri dari fitnah selain memang hal itu adalah
sesuatu yang lumrah di kalangan wanita-wanita salaf (istri-istri Rasulullah SAW
dan para shahabat).
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam An-Niqab fi Syariat al-Islam,
(2008: 48) menyatakan bahwa niqab merupakan bagian dari salah satu jenis
pakaian yang digunakan oleh sebagian perempuan di masa Jahiliyyah. Kemudian
model pakaian ini berlangsung hingga masa Islam. Nabi Muhammad SAW tidak
mempermasalahkan model pakaian tersebut, tetapi tidak sampai mewajibkan,
menghimbau ataupun menyunahkan niqab kepada perempuan. Andaikan niqab
dipersepsikan sebagai pakaian yang dapat menjaga marwah perempuan dan “wasilah”
untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka -sebagaimana klaim sejumlah pihak-
niscaya Nabi Muhammad SAW akan mewajibkannya kepada isteri-isterinya yang
dimana mereka (isteri-isteri Nabi) adalah keluarga yang paling berhak untuk
dijaga oleh Nabi. Namun justru Nabi tidak melalukannya. Juga tidak berlaku bagi
sahabat-sahabat perempuan Nabi. Hal ini merupakan bukti bahwa niqab -meskipun terus ada hingga di masa
Islam- hanyalah sebatas jenis pakaian yang dikenal dan dipakai oleh sebagian
perempuan. Kemudian bagi ummahat
al-mukminin (isteri-isteri
Nabi) memiliki perbedaan dimana mereka dikhususkan atas kewajiban mengenakan
hijab di dalam rumah dan menutup semua badan dan wajahnya ketika keluar dari
rumah sebagai bentuk memperluas hijab yang diwajibkan di dalam rumah.[3] Makalah Status Hukum Cadar
Dari beberapa pengertian di atas penulis
menyimpulkan bahwa cadar Cadar adalah kain penutup muka
atau sebagian wajah wanita, minimal untuk menutupi hidung dan mulut, sehingga
hanya matanya saja yang tampak. Dalam bahasa Arab, cadar disebut dengan khimar,
niqab, sinonim dengan burqa’. Pakaian yang memiliki beberapa
keistimewaan, seperti halnya di dalamnya terkandung suatu kelembutan wanita.
Indra penglihatan tetap berfungsi sebagaimana diciptakan oleh Allah, tanpa
penghalang, sehingga wanita dapat melihat manusia dan mengenali segala
keindahan ciptaan Allah.
B. Status Hukum Cadar Bagi Wanita
Secara
historis-sosiologis, cadar, jilbab dan hijab syar’i lainnya tidak bisa
dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh tidak hanya semamata
menyandang identitas fisik, namun juga identitas sosial dan bahkan menciptakan
batasan-batasan sosial tertentu. Pada masa awal Islam, penggunaan jilbab dan
cadar tidak hanya menunjukkan identitas sebagai perempuan muslim, namun juga
menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka atau budak. Haruslah
dipahami di sini, bahwa sebelum Islam berkembang, ada sejenis pakaian yang
biasa dipakai oleh golongan elit, ada yang biasadikenakan oleh masyarakat umum,
dan ada pula yang biasa dipakai olehpembantu dan bekas budak. Wanita-wanita
merdeka dan terhormat berciri khas dengan memakai kain yang menutupi mukanya
dengan tersisa matanya saja yaitu niqab (cadar) bersama pakaian yang lain
seperti jilbab.Sedangkan wanita miskin atau budak memakai pakaian minim dan
membuka wajahnya. Bahkan kadang-kadang membuka kepalanya, seakan-akan sebagai
simbol kepapaan. Sebaliknya, bercadar sebagai simbol kemewahan.[4]
Islam
agama yang bersifat eksklusif (infitah), tidak inklusif (inghilaq), sehingga
banyak sekali beberapa budaya atau ajaran umat sebelum Islamdijadikan ajaran
agama Islam, seperti halnyajilbab dan cadar. Sebelum datangnya Islam, jilbab
dan cadar merupakan budaya berpakaian perempuan Arab yang menjadi hiasan bagi
mereka sekaligus sebagai penanda bagi identitas sosialnya dalam masyarakat.
Perempuan yang bercadar dan berjilbab, menunjukkan identitas mereka sebagai
keturunan bangsawan. Sementara mereka yang hanya menggunakan jilbab,
menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka. Adapun mereka yang tidak
mengenakan keduanya baik jilbab maupun cadar, mneunjukkan identitasnya sebagai
seorang perempuan budak.Setelah Islam datang, cadar dan jilbab kemudian
mengalami penyempurnaan baik dari segi bentuk maupun fungsinya. Hal ini dapat
dilihat dari firman Allah dalam AlQur’an surat An-Nur ayat 31 berikut:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung. (An-Nur [24] : 31).
Setelah
turunnya ayat di atas, bentuk jilbab yang biasa dikenakan oleh perempuan muslim
kemudian diubah, sehingga tampak berbeda dengan model jilbab yang digunakan
oleh perempuan Arab non Muslim pada umumnya. aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh
tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki
ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i. Makalah Status Hukum Cadar
1. Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما
سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه
والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة
وعند المحارم : كعورة
الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis
aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh
badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki
ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat
yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti
laki-laki, yaitu antara pusar dan paha”.[5]
2. Syaikh Sulaiman Al Jamal
berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في
الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين
السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An-Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan
telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah
secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga
paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan”.[6]
3.
Syaikh
Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا
وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain
wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di
luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan”.[7]
4. Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة
ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة
غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup
seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib
pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat,
namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”.[8]
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
dalam mazhab-mazhab fikih Islam mengenai hukum penggunaan cadar bagi wanita. Perselisihan
pendapat antara ahli fikih
umumnya berkisar mengenai pengunaannya, apakah hal tersebut wajib (fardhu),
disarankan (mustahab) ataukah sekadar boleh. Perbedaan pendapat tersebut tidak
bertentangan dan tidak perlu saling dibenturkan, karena tidak ada mazhab Islam
yang mengharamkannya. Dalam mazhab Syafi'i, mazhab yang dianut oleh mayoritas umat
muslim di Asia Tenggara, memiliki pendapat yang mu’tamad. Dalam madzhab Syafi’i
menyatakan bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan
oleh pihak lain (bukan muhrim/non-mahram/al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan
dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan
memakai cadar untuk menutupi wajahnya.
C.
Cadar dalam
Lingkungan Masyarakat
Muslimah bercadar identik dengan cara berpakaian
mereka yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan dalam
hal berpakaian menjadi identitas bagi muslimah bercadar. Cara berpakaian yang
longgar dan lebar, cenderung berwarna gelap dan disertai dengan pemakaian cadar
merupakan identitas yang dipilih muslimah dalam masyarakat. Menggunakan cadar
telah menjadi suatu tantangan tersendiri bagi setiap muslimah yang mengenakan
cadar. Namun umumnya masyarakat memberi stigma negatif terhadap muslimah
bercadar sebagai bagian dari teroris, pengikut golongan keras, kelompok
ekslusif dan lain sebagainya. Stigma masyarakat tersebut merupakan tantangan
atau resiko sosial yang harus diterima oleh muslimah bercadar.
Umumnya para masyarakat terutama para tetangga
tampaknya belum sepenuhnya menerima kehadiran muslimah bercadar di tengah
lingkungannya, hal tersebut tidak lepas dari stigma negatif yang telah melekat
pada muslimah bercadar. Dampak dari stigma negatif masyarakat terhadap muslimah
bercadar telah disadari betul oleh mereka para muslimah bercadar, salah satu
konskuensi muslimah bercadar adalah mereka umumnya memutuskan untuk membatasi
ruang sosialnya terutama yang berhubungan dengan laki-laki. Adanya stigma
negatif masyarakat terhadap muslimah bercadar membuat muslimah bercadar harus
memiliki upaya-upaya dalam menanggapi prasangka orang lain terhadap mereka.
Bagi muslimah bercadar, keputusannya dalam bercadar merupakan wujud ketaatannya
terhadap syariat Allah dan Rasul, sehingga stigma negatif dari masyarakat
terhadap mereka dianggap sebagai bentuk cobaan atas keistiqomahan mereka
terhadap cadar yang dikenakannya.
Muslimah bercadar mencoba menerima keadaan mereka
yang dianggap sebagai bagian dari terorisme. Namun mereka mencoba melawan
pandangan masyarakat itu dengan melakukan hal-hal positif sehingga mereka
berharap masyarakat akan menilai mereka positif. Dalam hidup bermasyarakat,
muslimah bercadar juga mengikuti aturan atau tradisi dalam lingkungannya
asalkan sesuai dengan syariat Islam. Keikutsertaan muslimah bercadar dalam masyarakat
dilakukan apabila ada tetangga yang menggelar hajatan muslimah bercadar juga
membantu, ada tetangga meninggal muslimah bercadar juga ikut bertakjiah.
Muslimah bercadar juga menjaga hubungan baik dengan tetangga, seperti menjalin
silaturahmi, dan mereka juga menerima pendapat orang lain terhadap mereka. Bagi
mereka hal tersebut merupakan salah satu upaya mereka dalam mewujudkan citra
mereka sebagai muslimah bercadar, jadi bagi mereka tidak benar bahwa muslimah
bercadar itu tidak mau berinteraksi dengan masyarakat.
Pada dasarnya muslimah bercadar menjalankan hidup
sama seperti perempuan pada umumnya, namun segala tindakan yang mereka lakukan
lebih pada suatu bentuk perintah kewajiban atau kesunnahan yang didasarkan atas
perintah Allah dan Rasul. Tidak semua perenpuan bercadar itu hidup tertutup dan
tidak mau bergaul dengan lingkungan. Adanya stigma negative masyarakat terhadap
muslimah bercadar memang sangat dirasakan oleh muslimah bercadar seperti bagian
dari teroris, kelompok aliran keras dan kelompok ekslusif, menutup diri dan
tidak mau bergalu dengan lingkungan.
Namun bagi muslimah bercadar tidak semua masyarakat
atau orang lain berprasangka negatif terhadap mereka, bagi mereka ada sebagian
masyarakat yang memiliki pemahaman yang sama dengan mereka sehingga tidak
berprasangka negatif. Dalam melakukan hal-hal yang bersifat positif agar
mendapat citra positif dalam masyarakat, muslimah bercadar melakukan
upaya-upaya seperti bersilaturahmi dengan masyarakat dan berhubungan baik
dengan masyarakat dan tidak mengeksklusifkan diri sehingga dengan cara seperti
itu masyarakat akan memahamai bagaimana muslimah bercadar.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Cadar
adalah kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, minimal untuk menutupi
hidung dan mulut, sehingga hanya matanya saja yang tampak. Dalam bahasa Arab,
cadar disebut dengan khimar, niqab, sinonim dengan burqa’.
Pakaian yang memiliki beberapa keistimewaan, seperti halnya di dalamnya
terkandung suatu kelembutan wanita. Indra penglihatan tetap berfungsi sebagaimana
diciptakan oleh Allah, tanpa penghalang, sehingga wanita dapat melihat manusia
dan mengenali segala keindahan ciptaan Allah.
- Terdapat perbedaan
dalam mazhab-mazhab fikih Islam mengenai hukum penggunaan cadar bagi
wanita. Perselisihan
pendapat antara
ahli fikih umumnya berkisar mengenai pengunaannya, apakah hal tersebut
wajib (fardhu), disarankan (mustahab) ataukah sekadar boleh. Perbedaan
pendapat tersebut tidak bertentangan dan tidak perlu saling dibenturkan,
karena tidak ada mazhab Islam yang mengharamkannya. Dalam mazhab Syafi'i,
mazhab yang dianut oleh mayoritas umat muslim di Asia Tenggara, memiliki
pendapat yang mu’tamad.
Dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat perempuan dalam konteks yang
berkaitan dengan pandangan oleh pihak lain (bukan muhrim/non-mahram/al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak
tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak
tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.
- Memakai
cadar bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran
Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi
yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada
masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap
sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah
perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim
berbudaya Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Deddy
Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Denny
Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, Surabaya: Amelia, 1996.
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta:
Gema insane press, 2008.
Al-Imam
Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj,
Juz. II, Kairo: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1983.
Sulaimān
Al-Jamāl, Hasyiyah Al’allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Jamal ‘Ala Syarh
Al-Minhaj, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Muhammad
ibnu Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Semarang: Pustaka Alawiyyah, tt.
Ibnu
Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarhi Al-Manhaj, Juz. III, Beirut:
Darul kutub Al-Ilmiyah, tt.
[1]Deddy Mulyana, Komunikasi
Lintas Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 135.
[2]Denny Anwar, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: Amelia, 1996), h. 69.
[5]Al-Imam Abdul Hamid Asy-Syarwani,
Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, Juz. II, (Kairo: Maktabah
At-Tijariyah Al-Kubro, 1983), h. 112.
[6] Sulaimān Al-Jamāl, Hasyiyah Al’allamah
Asy-Syekh Sulaiman Al-Jamal ‘Ala Syarh Al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr,
tt), h. 411.
[7] Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi, Fathul
Qorib, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, tt), h. 19.
[8]Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul
Muhtaj Bi Syarhi Al-Manhaj, Juz. III, (Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyah, tt),
h. 115.
Baca juga : Menulis karya ilmiah itu mudah kok!
Baca juga : Menulis karya ilmiah itu mudah kok!
0 Response to "Makalah Status Hukum Cadar"
Post a Comment