Makalah Status Hukum Cadar


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Diskriminasi jilbab menjadi salah satu catatan penting diberbagai pelosok dunia. Terlebih lagi di barat, jilbab sudah menjadi momok yang mengerikan dan harus dihilangkan dari kehidupan sosial, budaya maupun politik. Misalnya saja di Prancis jilbab dilarang di sekolah umum. Jilbab juga bukan menjadi pilihan bagi gadis-gadis muda di Amerika karena itu akan membatasi kebebasan mereka yang mulai sadar akan lawan jenis, menyukai pakaian minim, bercelana pendek serta mempromosikan bahwa tubuh mereka adalah nilai sejati yang dihargai oleh lawan jenisnya.[1]
Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di dunia, namun penggunan jilbab atau lebih utamanya cadar masih menjadi suatu kontroversi, hal tersebut karena masyarakat cenderung melekatkan stigma negatif kepada wanita bercadar sebagai bagian dari terorisme dan dianggap mengancam. Memakai cadar bagi sebagian muslimah Indonesia adalah sebuah hal yang kontroversial karna di anggap tidak pernah di syariatkan oleh Rasul, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu juga diperhatikan, karena saat ini penggunaan jilbab modis yang telah menjadi trend fashion telah jauh dari syariat Islam, namun dapat diterima oleh masyarakat. Dan sekarang ini penggunaan jilbab yang  standar  tidak dapat menghalangi seorang muslimah untuk berbuat hal-hal yang tidak senonoh bahkan ditentang oleh agama. Makalah Status Hukum Cadar
Fenomena yang terjadi saat ini banyak perempuan yang memakai cadar dikalangan muslimah, cadar dalam Islam adalah jilbab yang tebal dan longgar yang menutup semua aurat termasuk wajah dan telapak tangan. Dasar dari penggunaan cadar adalah untuk menjaga perempuan sehingga tidak menjadi fitnah dan menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramnya. Cadar dalam bahasa arab disebut niqab, yang berarti pakaian wanita yang menutup wajah. Dalam kamus Lengkap Bahasa Indonesia disebutkan bahwa cadar adalah kain penutup kepala atau muka.7 Pada dasarnya cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab. Dalam konteks ini penggunaan cadar terdapat beberapa model seperti pakaian wanita yang menutup seluruh wajah kecuali alis dan mata, ada juga yang lebih ekstrim seperti kain penutup kepala atau muka namun hanya mata saja yang terlihat.[2]








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Cadar
Cadar adalah kain penutup kepala atau muka. Niqab adalah istilah syar'i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai kesatuan dengan jilbab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), cadar berarti kain penutup kepala. Dengan demikian, cadar dapat difahami sebagai pakaian perempuan yang menutupi bagian kepala dan wajah, sehingga yang nampak hanya kedua mata saja.
Muslimah bercadar adalah mereka yang mengenakan jilbab yang sesuai syar’i yang dilengkapi dengan kain penutup wajah, dan hanya menampakkan kedua mata. Bagi muslimah bercadar, menggunakan cadar merupakan suatu kewajiban. Bagi mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis yang bukan mahram. Cadar bagi muslimah bercadar merupakan upaya untuk lebih menjaga diri dari fitnah selain memang hal itu adalah sesuatu yang lumrah di kalangan wanita-wanita salaf (istri-istri Rasulullah SAW dan para shahabat).
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam An-Niqab fi Syariat al-Islam, (2008: 48) menyatakan bahwa niqab merupakan bagian dari salah satu jenis pakaian yang digunakan oleh sebagian perempuan di masa Jahiliyyah. Kemudian model pakaian ini berlangsung hingga masa Islam. Nabi Muhammad SAW tidak mempermasalahkan model pakaian tersebut, tetapi tidak sampai mewajibkan, menghimbau ataupun menyunahkan niqab kepada perempuan. Andaikan niqab dipersepsikan sebagai pakaian yang dapat menjaga marwah perempuan dan “wasilah” untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka -sebagaimana klaim sejumlah pihak- niscaya Nabi Muhammad SAW akan mewajibkannya kepada isteri-isterinya yang dimana mereka (isteri-isteri Nabi) adalah keluarga yang paling berhak untuk dijaga oleh Nabi. Namun justru Nabi tidak melalukannya. Juga tidak berlaku bagi sahabat-sahabat perempuan Nabi. Hal ini merupakan bukti bahwa niqab -meskipun terus ada hingga di masa Islam- hanyalah sebatas jenis pakaian yang dikenal dan dipakai oleh sebagian perempuan. Kemudian bagi ummahat al-mukminin (isteri-isteri Nabi) memiliki perbedaan dimana mereka dikhususkan atas kewajiban mengenakan hijab di dalam rumah dan menutup semua badan dan wajahnya ketika keluar dari rumah sebagai bentuk memperluas hijab yang diwajibkan di dalam rumah.[3] Makalah Status Hukum Cadar
Dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa cadar Cadar adalah kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, minimal untuk menutupi hidung dan mulut, sehingga hanya matanya saja yang tampak. Dalam bahasa Arab, cadar disebut dengan khimar, niqab, sinonim dengan burqa’. Pakaian yang memiliki beberapa keistimewaan, seperti halnya di dalamnya terkandung suatu kelembutan wanita. Indra penglihatan tetap berfungsi sebagaimana diciptakan oleh Allah, tanpa penghalang, sehingga wanita dapat melihat manusia dan mengenali segala keindahan ciptaan Allah.

B.     Status Hukum Cadar Bagi Wanita
Secara historis-sosiologis, cadar, jilbab dan hijab syar’i lainnya tidak bisa dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh tidak hanya semamata menyandang identitas fisik, namun juga identitas sosial dan bahkan menciptakan batasan-batasan sosial tertentu. Pada masa awal Islam, penggunaan jilbab dan cadar tidak hanya menunjukkan identitas sebagai perempuan muslim, namun juga menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka atau budak. Haruslah dipahami di sini, bahwa sebelum Islam berkembang, ada sejenis pakaian yang biasa dipakai oleh golongan elit, ada yang biasadikenakan oleh masyarakat umum, dan ada pula yang biasa dipakai olehpembantu dan bekas budak. Wanita-wanita merdeka dan terhormat berciri khas dengan memakai kain yang menutupi mukanya dengan tersisa matanya saja yaitu niqab (cadar) bersama pakaian yang lain seperti jilbab.Sedangkan wanita miskin atau budak memakai pakaian minim dan membuka wajahnya. Bahkan kadang-kadang membuka kepalanya, seakan-akan sebagai simbol kepapaan. Sebaliknya, bercadar sebagai simbol kemewahan.[4]
Islam agama yang bersifat eksklusif (infitah), tidak inklusif (inghilaq), sehingga banyak sekali beberapa budaya atau ajaran umat sebelum Islamdijadikan ajaran agama Islam, seperti halnyajilbab dan cadar. Sebelum datangnya Islam, jilbab dan cadar merupakan budaya berpakaian perempuan Arab yang menjadi hiasan bagi mereka sekaligus sebagai penanda bagi identitas sosialnya dalam masyarakat. Perempuan yang bercadar dan berjilbab, menunjukkan identitas mereka sebagai keturunan bangsawan. Sementara mereka yang hanya menggunakan jilbab, menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka. Adapun mereka yang tidak mengenakan keduanya baik jilbab maupun cadar, mneunjukkan identitasnya sebagai seorang perempuan budak.Setelah Islam datang, cadar dan jilbab kemudian mengalami penyempurnaan baik dari segi bentuk maupun fungsinya. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah dalam AlQur’an surat An-Nur ayat 31 berikut:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur [24] : 31).

Setelah turunnya ayat di atas, bentuk jilbab yang biasa dikenakan oleh perempuan muslim kemudian diubah, sehingga tampak berbeda dengan model jilbab yang digunakan oleh perempuan Arab non Muslim pada umumnya. aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i. Makalah Status Hukum Cadar
1.      Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة
 وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha”.[5]
2.      Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
Maksud perkataan An-Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan”.[6]


3.   Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan”.[7]
4.   Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”.[8]
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam mazhab-mazhab fikih Islam mengenai hukum penggunaan cadar bagi wanita. Perselisihan pendapat antara ahli fikih umumnya berkisar mengenai pengunaannya, apakah hal tersebut wajib (fardhu), disarankan (mustahab) ataukah sekadar boleh. Perbedaan pendapat tersebut tidak bertentangan dan tidak perlu saling dibenturkan, karena tidak ada mazhab Islam yang mengharamkannya. Dalam mazhab Syafi'i, mazhab yang dianut oleh mayoritas umat muslim di Asia Tenggara, memiliki pendapat yang mu’tamad. Dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan oleh pihak lain (bukan muhrim/non-mahram/al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.

C.    Cadar dalam Lingkungan Masyarakat

Muslimah bercadar identik dengan cara berpakaian mereka yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan dalam hal berpakaian menjadi identitas bagi muslimah bercadar. Cara berpakaian yang longgar dan lebar, cenderung berwarna gelap dan disertai dengan pemakaian cadar merupakan identitas yang dipilih muslimah dalam masyarakat. Menggunakan cadar telah menjadi suatu tantangan tersendiri bagi setiap muslimah yang mengenakan cadar. Namun umumnya masyarakat memberi stigma negatif terhadap muslimah bercadar sebagai bagian dari teroris, pengikut golongan keras, kelompok ekslusif dan lain sebagainya. Stigma masyarakat tersebut merupakan tantangan atau resiko sosial yang harus diterima oleh muslimah bercadar.
Umumnya para masyarakat terutama para tetangga tampaknya belum sepenuhnya menerima kehadiran muslimah bercadar di tengah lingkungannya, hal tersebut tidak lepas dari stigma negatif yang telah melekat pada muslimah bercadar. Dampak dari stigma negatif masyarakat terhadap muslimah bercadar telah disadari betul oleh mereka para muslimah bercadar, salah satu konskuensi muslimah bercadar adalah mereka umumnya memutuskan untuk membatasi ruang sosialnya terutama yang berhubungan dengan laki-laki. Adanya stigma negatif masyarakat terhadap muslimah bercadar membuat muslimah bercadar harus memiliki upaya-upaya dalam menanggapi prasangka orang lain terhadap mereka. Bagi muslimah bercadar, keputusannya dalam bercadar merupakan wujud ketaatannya terhadap syariat Allah dan Rasul, sehingga stigma negatif dari masyarakat terhadap mereka dianggap sebagai bentuk cobaan atas keistiqomahan mereka terhadap cadar yang dikenakannya.
Muslimah bercadar mencoba menerima keadaan mereka yang dianggap sebagai bagian dari terorisme. Namun mereka mencoba melawan pandangan masyarakat itu dengan melakukan hal-hal positif sehingga mereka berharap masyarakat akan menilai mereka positif. Dalam hidup bermasyarakat, muslimah bercadar juga mengikuti aturan atau tradisi dalam lingkungannya asalkan sesuai dengan syariat Islam. Keikutsertaan muslimah bercadar dalam masyarakat dilakukan apabila ada tetangga yang menggelar hajatan muslimah bercadar juga membantu, ada tetangga meninggal muslimah bercadar juga ikut bertakjiah. Muslimah bercadar juga menjaga hubungan baik dengan tetangga, seperti menjalin silaturahmi, dan mereka juga menerima pendapat orang lain terhadap mereka. Bagi mereka hal tersebut merupakan salah satu upaya mereka dalam mewujudkan citra mereka sebagai muslimah bercadar, jadi bagi mereka tidak benar bahwa muslimah bercadar itu tidak mau berinteraksi dengan masyarakat.
Pada dasarnya muslimah bercadar menjalankan hidup sama seperti perempuan pada umumnya, namun segala tindakan yang mereka lakukan lebih pada suatu bentuk perintah kewajiban atau kesunnahan yang didasarkan atas perintah Allah dan Rasul. Tidak semua perenpuan bercadar itu hidup tertutup dan tidak mau bergaul dengan lingkungan. Adanya stigma negative masyarakat terhadap muslimah bercadar memang sangat dirasakan oleh muslimah bercadar seperti bagian dari teroris, kelompok aliran keras dan kelompok ekslusif, menutup diri dan tidak mau bergalu dengan lingkungan.
Namun bagi muslimah bercadar tidak semua masyarakat atau orang lain berprasangka negatif terhadap mereka, bagi mereka ada sebagian masyarakat yang memiliki pemahaman yang sama dengan mereka sehingga tidak berprasangka negatif. Dalam melakukan hal-hal yang bersifat positif agar mendapat citra positif dalam masyarakat, muslimah bercadar melakukan upaya-upaya seperti bersilaturahmi dengan masyarakat dan berhubungan baik dengan masyarakat dan tidak mengeksklusifkan diri sehingga dengan cara seperti itu masyarakat akan memahamai bagaimana muslimah bercadar.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Cadar adalah kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, minimal untuk menutupi hidung dan mulut, sehingga hanya matanya saja yang tampak. Dalam bahasa Arab, cadar disebut dengan khimar, niqab, sinonim dengan burqa’. Pakaian yang memiliki beberapa keistimewaan, seperti halnya di dalamnya terkandung suatu kelembutan wanita. Indra penglihatan tetap berfungsi sebagaimana diciptakan oleh Allah, tanpa penghalang, sehingga wanita dapat melihat manusia dan mengenali segala keindahan ciptaan Allah.
  1. Terdapat perbedaan dalam mazhab-mazhab fikih Islam mengenai hukum penggunaan cadar bagi wanita. Perselisihan pendapat antara ahli fikih umumnya berkisar mengenai pengunaannya, apakah hal tersebut wajib (fardhu), disarankan (mustahab) ataukah sekadar boleh. Perbedaan pendapat tersebut tidak bertentangan dan tidak perlu saling dibenturkan, karena tidak ada mazhab Islam yang mengharamkannya. Dalam mazhab Syafi'i, mazhab yang dianut oleh mayoritas umat muslim di Asia Tenggara, memiliki pendapat yang mu’tamad. Dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan oleh pihak lain (bukan muhrim/non-mahram/al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.
  2. Memakai cadar bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.















DAFTAR PUSTAKA
Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Denny Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, Surabaya: Amelia, 1996.

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema insane press, 2008.

Al-Imam Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, Juz. II, Kairo: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1983.

Sulaimān Al-Jamāl, Hasyiyah Al’allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Jamal ‘Ala Syarh Al-Minhaj, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Semarang: Pustaka Alawiyyah, tt.

Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarhi Al-Manhaj, Juz. III, Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyah, tt.





[1]Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 135.
[2]Denny Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: Amelia, 1996), h. 69.
[3]Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema insane press, 2008), h. 48.
[4]Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita…, h. 293.
[5]Al-Imam Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, Juz. II, (Kairo: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1983), h. 112.

[6] Sulaimān Al-Jamāl, Hasyiyah Al’allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Jamal ‘Ala Syarh Al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 411.

[7] Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, tt), h. 19.

[8]Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarhi Al-Manhaj, Juz. III, (Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyah, tt), h. 115.





Baca juga : Menulis karya ilmiah itu mudah kok!
                 

0 Response to "Makalah Status Hukum Cadar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel